Dimana hariku tak mampu terbang, tersesat
dan ingin bersandar mencari tempat. Namun tempatku hilang, melemparkan pisau
hingga jangan salahkan air mata yang tersedu ditengah hujan. Katanya ia ragu,
aku menangis lagi, bosannya.
aku tak bisa terbang, seperti harapnya
yang terucap dalam doanya. aku tak bisa terbang, seperti nasehatnya setiap jam,
aku tak bisa terbang, seperti biasa ia katakan lembut ditelingaku. Cita citamu
tuk terbangkan aku rupanya tak ku mampu. harusku bagaimakanan aku?
Kita memang dilahirkan sangat berbeda,
Sangat, bahkan amat sangat. Bagiku hadirnya dalam setiap hari adalah sebuah
mimpi menjadi nyata. Bertemu dengan sosok jenis itu bagaikan mimpi lama yang
tiba tiba menjadi nyata. tak sadar ku tetiba mencintainya.
Sayangnya aku terlalu bodoh, sayangnya aku
terlalu egois, terlalu jahat dan terlalu naif. Inginnya ku kejar ia lalu ku
peluk dan ucapkan maaf. Namun aku hanya bisa menangis dibalik tubuhnya dan tak
mampu menatapnya, mengapa? Ntahlah, jangan tanyakan, aku enggan menjelaskan,
aku lelah.
Terlalu ku sadar, jika yang ku fikirkan,
yang ku rasakan dan yang ku ungkapkan hanyalah hal konyol yang tidak benar
terjadi. Harusnya ku percaya dan cukup mendengarkan. Salahkan hatiku yang terlalu
mengambil rasa dan bertindak tak dewasa.
Inginnya ku meminta maaf, sudah ku
lakukan. Tapi sakitku tak kunjung juga pergi. Mengapa? Ucapku yang lain tak
perlu ada rasa itu, rasa tak penting yang hanya akan menciptakan lara.
Aku tak ingin kehilangannya, maka kata
diriku lainnya berubahlah! Namun diriku lainnya tetap saja bersikukuh dalam
keegoisan ini. Aku merindukannya, Bersama angin dan rintikan hujan malam aku
hanya bisa tersedu, benar benar tersedu.
Tak bisa bintang menyaksikan, karena
mereka rupanya terlalu lelah untuk melihat drama yang tak kunjung juga usai
ceritanya.
Aku hanya ingin dimengerti, dan belajar
mengerti. Namun rupanya ia seperti terlalu lelah untuk mengerti dan lebih mudah
untuk menasehati. Bisikku, ia tak bisa menjadi pendengar, ah Ibu aku rindu! ku
menangis lagi.
Inginku cukup kita berbincang, karena dia
harus selalu dipihakku, apapun yang terjadi, namun malamnya ia seperti orang
lain, yang setiap ucapannya berasa sebilah pisau yang terus saja menikam hati,
jangan salahkan air mata bila sudah begitu.
Aku tak pernah ragu, namun ia diujung sana
berteriak ragu. Ahh.. sudahlah. Mungkin semuanya salahku. Wahai hati, pergi
saja jika lelah, kau diizinkan untuk meninggalkan atau jika masih sayang, maka
tetaplah tinggal. Terserah padamu!
Jangan tanyakan lagi mengapa aku? Tanyakan
dirimu mengapa kamu? Aku hanya sedang hilang arah, tersesat, tak mampu terbang
dan lelah, butuh tempat bersandar dan berpegangan, ku rasa tempatku kamu,
namun tempatku menolak tuk kujadikan tempat berlabuh, wahai ragu pergilah aku
mencintainya!
Jika tak mampu kau ragu pergi, baiklah
biarkan aku pergi dengan segala keyakinan yang selalu ku miliki.
Hi, I Love you, but I can’t fly, would you
stay?
0 komentar:
Posting Komentar
:)