Hari itu, Kamis 12 Juli 2018, di Kereta Argo Parahyangan jurusan Bandung – Jakarta aku bertemu dengan suamiku. Kita duduk bersebelahan, bertukar ID Instagram, pindah pada chat di Whatsapp dan di hari kelima dia melamarku, I said YES! 7 bulan kemudian kita menikah, di minggu kedua bulan Januari 2019.
Kalau saja aku tahu menikah dengannya akan sebahagia ini, aku berharap bisa lebih cepat bertemu dengannya. Ehhh Tapiii, jarak kita terpaut 6 tahun, ketika dia sudah mulai kerja, aku masih SMA, jadi rasanya agak tidak mungkin dengan kondisi itu. Benar, semua sudah diatur olehNya.
Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan terlewati. Bersamanya amat membahagiakan, tapi masih ada satu hal yang kurang.
"Belum isi Din?"
atau "udah ngisi belum?"
Pertanyaan itu hilir mudik menyapa, entah itu teman, kerabat atau entahlah siapapun yang bertanya. Jawabku? "belum, doain ya" begitu terus.
Mudah memang menjawabnya, namun entah rasa apa itu, rasa yang kalo dijabarin katanya gini "duh males banget sih, napa pake nanya segala dah" hehe.
Sebenarnya keluarga biasa saja, toh kita juga baru kenal 7 bulan, banyak yang bilang pacaran aja dulu, well satu tahun sudah kita pacaran halal. Anniversary ke satu tahun pun sudah kita lalui, tak henti hentinya aku bersyukur padaNya, bisa menikah dan berbagi cerita bersamanya.
Banyak juga yang bilang “baru setahun, santai aja”. Benar, baru satu tahun, waktu yang singkat memang, tapiiiiii………..
Di satu tahun itu aku sudah pasrah, mungkin Tuhan ingin kita sabar lagi, anak adalah rezeki, akan datang diwaktu terbaik menurutNya.
Pelajaran yang bisa aku ambil dari pengalamanku ini adalah agar sangat menjaga hati dan perasaan teman - teman diluar sana yang memang masih menanti, baik menanti pasangan, menanti anak atau menanti hal lainnya yang tidak bisa kita atur semaunya.
Lebih baik tidak bertanya, basa basinya yang lain aja, gak usah pake "eh ko belum bla bla blaaa". Bicarakan saja hal lainnya, saling menjaga perasaan. Aku tahu betul bagaimana rasanya ditanya ini itu yang jawabannya diluar kendali kita. sangat tidak nyaman, setidaknya bagiku begitu.
"Aa, kata dr. Yassin, kalau lewat 1 tahun belum hamil juga, harus konsultasi ke dokter, takutnya ada masalah" ucapku pada suami.
Suami setuju, bulan depan kalau tamu bulananku masih saja datang kita berencana untuk konsultasi ke Dokter.
Di bulan Februari tamu bulananku tidak datang. Di bulan Maret 2020, di suatu pagi yang hening, aku niat untuk cek menggunakan test pack. Hari itu aku telat 9 hari! Baru pertama kali aku telat selama itu, biasanya kalau pun maju atau mundur tidak pernah terlalu jauh.
Dengan rasa deg-degan, dan excited sekaligus, aku beranikan diri untuk mengeceknya. Suamiku masih terlelap. Pikirku, akan aku kasih tahu suami kalau hasilnya positif saja, kalau negatif sih gak perlu.
Daaaaaaaaan..........
2 garis merah itu terlihat perlahan muncul.
Hasil Test Pack (Dok Pribadi) |
Masih di dalam kamar mandi, aku terdiam sendiri. Aneh rasanya, ada rasa bahagia ada juga rasa like "OKE, WHAT IS NEXT?". Langsung juga aku instal aplikasi andalan ibu hamil di ponselku, The Asian Parent. (https://id.theasianparent.com/)
Aku langkahkan kakiku keluar, menuju kamar dan membangunkan suamiku pelan sambil memegang hasil test pack yang selama ini dinantikan.
'tap tap' ku tepuk punggungnya pelan.
Pelan pelan suamiku tersadar. Ketika masih sayup sayup matanya terbuka, aku tunjukan hasil test packnya. Lalu seketika matanya terbelalak dan menatapku bingung.
"Positif?" tanyanya masih bingung dan ngantuk.
Aku tersenyum dan mengangguk. Dia tersenyum, lalu memelukku sambil berucap "Alhamdulillah" pelan.
Memang tidak seheboh sinetron, atau seromantis drama Korea, tapi scene itu masih teringat olehku, tidak ada lagi rasa selain bersyukur padaNya.
Satu tahun memang bukan waktu sebentar, atau juga waktu yang lama, benar, semua datang pada waktu terbaik menurutNya.
Kalau dihitung - hitung, saat itu masih 5 mingguan. Kita berencana ke dokter di minggu berikutnya.
Di pengalamanku, dua garis itu aku dapatkan mungkin tidak semudah teman - teman lainnya, ataupun tidak sesulit kawan - kawan lainnya. Memasuki bulan ke 6 permikahan, aku sudah mulai program hamil ala kadarnya, ala ala saja seenaknya sendiri.
Mengikuti anjuran artikel-artikel di internet, melakukan pengalaman si ini si itu yang cepat hamil, mulai minum vitamin, rempah rempahan dan makan ini itu seperti pengalaman orang, serta usaha usaha lainnya.
Hingga akhirnya aku membaca sebuah artikel yang mengatakan kalau berat badan mempengaruhi kesuburan seseorang.
Dari situ semua berawal, niat bulatku untuk berubah! Sizeku memang bisa dibilang XL, pokoknya sulit untuk diet, pecinta junk food dan tim rebahan. Hingga akhirnya aku dan suami sepakat untuk hidup sehat, tidur cukup dan diet ketat! Yang diet aku doang sih, suami sudah langsing, hehe.
Kurang lebih selama 4 bulan aku melakukan diet sampai akhirnya hamil. Berat badanku turun 8 kg, Alhamdulillah. Benar ternyata, selain memang Kuasa Tuhan, berat badan dan hidup sehat benar benar mempengaruhi.
Hari berlalu..
Setelah melewati minggu ke 6, aku dan suami pergi ke salah satu rumah sakit di Jakarta Pusat. Deg-degan sekaligus excited. Berharap semua normal dan baik baik saja.
Antrian tidak cukup panjang, akhirnya namaku dipanggil.
Didalam ruang prakik dokter.
“Ini ya bu, sudah terlihat kantungnya” ucap Dokter.
Foto hasil USG pertama (dok pribadi) |
Alhamdulillah sejauh ini dokter bilang sehat dan normal, Aku diminta datang kembali 4 minggu lagi untuk dapat melihat apakah ada yang berkembang di kantung itu.
Hari demi hari terlewati, gejala seperti ibu hamil mulai terasa. Nikmat sekali….
Bersyukur juga selama pandemi, suamiku full WFH, selama ada laptop dia bisa bekerja, sehingga 9 bulan hamil dia siap siaga dan selalu stay dirumah.
Ketika memasuki minggu ke 8 sampai sebelum minggu ke 13, minggu-minggu itu bisa dibilang minggu terberatku selama hamil. Walau terbilang masih wajar dan beruntung jika dibanding teman lainnya, tetap saja menurutku momen itu adalah momen terberatku selama hamil.
Karena aku tidak bisa beraktifitas seperti biasa. Menjadi sangat tidak suka aroma dapur, hilang hasrat memasak dan tidak suka masakan sendiri. Jadilah suamiku menjadi chef dadakan.
Terimakasih Dear Suami
Foto hasil masakan suami (Dok pribadi) |
Karena pandemi melanda, rumah sakit tempatku kontrol dan dokter kandunganku pun berubah, semua berubah agar bisa menjadi lebih dekat dengan rumah dan bisa diakses lebih mudah.
USG kali kedua tidak kalah deg-degannya. Walau mengalami gejala seperti Ibu Hamil, tapi aku masih takut si kantung ini tidak dalam keadaan baik baik saja. Tapi alhamdulillahnya semua baik baik saja, semua sehat dan normal.
Hasil USG ke dua (dok pribadi) |
Dokter memberiku beberapa vitamin dan nasehat, terlebih di masa pandemi seperti ini Ibu hamil terbilang cukup rentan.
Bulan-bulan selanjutnya alhamdulillah semua baik baik saja. Memang tidak mudah hamil ketika masa pandemi seperti ini.
Sangat berhati-hati ketika harus ke rumah sakit, sangat membatasi kegiatan di luar rumah, dan tidak bisa pulang kampung! itu yang cukup berat.
PSBB, pengetatan jalur antar kota dan segala protokol kesehatan yang ada membuat aku dan suami memutuskan untuk stay di rumah, benar benar di rumah tidak kemana mana, kecuali pergi ke Rumah Sakit dan membeli kebutuhan seperti pergi ke minimarket dekat rumah dan ke warung yang menjual sayur.
Hari demi hari terlewati, bulan demi bulan dijalani. Perutku semakin membesar, lucu sekali. Sudah ada nafsu untuk makan, hasrat memasak kembali lagi, sungguh senangnya di trimester 2.
Yang lebih membuatku senang adalah gerakan gerakan halus yang sudah mulai terasa dari dalam perut. Masih ingat dengan jelas, gerakan pelan nan samar itu pertama kali ku rasa di bulan ke 4.
”Apa ini?” tanyaku dalam hati.
Rasanya aneh. Semakin hari semakin kencang dan jelas, aku semakin bahagia merasakannya.
Memang benar, awalnya terasa aneh dan asing, tapi semakin kesini gerakan itu selalu aku nanti setiap harinya. Dari mulai gerakan halus, tendangan pelan, sampai gerakan yang bisa mengagetkanku tiba tiba, semua amat indah dirasa, gemas sekali rasanya, inginku segera menyapanya. Apalagi momen cegukan, lucu sekali.
Memasuki trimester ke 3 segalanya jadi berubah. Perutku semakin membesar lagi, membuatku jadi selalu lapar, cukup sulit bergerak, berjalan, dan melakukan aktifitas lainnya. Tapi dokter bilang jangan ‘mager’ harus tetap gerak. Jadilah jalan pagi dan sore menjadi solusi. Tidak lupa juga pekerjaan rumah tetap aku kerjakan dengan santai.
Potret suami menemani jalan pagi (dok pribadi) |
Walau tidak se’cengos’ dulu, tapi aku tetap bahagia berada di trimester 3.
“Sudah USG 4D bu?” tanya dokter ketika kontrol rutin bulanan.
Aku menggelengkan kepala, memang belum ada niatan untuk USG 4D. Menurut dokter memang tidak terlalu penting, karena dari USG 2D pun sudah terlihat dan dapat terdeteksi apabila ada masalah. Tapi dari situ aku jadi kepikiran dan ingin 4D, jadilah lets go for 4D.
Ternyata semenyenangkan itu melihat layar monitor USG 4D. Kita bisa dengan cukup jelas melihat seperti apa rupa anak kita didalam. Tidak dipungkiri, selain ingin mengetahui kondisi kesehatan Bayi didalam, tentu kita ingin juga melihat seperti apa wajahnya, mirip siapa ya kira kira.
Tapi sayangnya, saat percobaan pertama si Bayi munggungin terus. Sudah geser kesana, geser kesini, posisi ini posisi itu tetap tidak terlihat wajahnya. Ia hanya mengizinkan kita melihat tulang belakangnya saja hehehe.
Hasil 4D tulang belakang (dok pribadi) |
"Tulang belakangnya normal ya bu, tidak ada kelainan" ucap Dokter dan dilanjutkan dengan menjelaskan ini itu dengan layar yang menampilkan tulang punggung anakku.
Alhasil, wajahnya tidak bisa terlihat karena masih munggungin. Untungnya, Dokternya amat baik. Saat itu aku antrian 2 dari belakang, jadi Dokter meminta aku untuk keluar dulu, dan meminta pasien terakhir untuk masuk, setelah itu aku diperbolehkan masuk lagi untuk percobaan kedua.
Ketika diluar aku disarankan untuk banyak bergerak, sujud, jalan, coba posisi ini itu agar si Bayi dalam perut mau bergerak dan diharapkan bisa menunjukan wajahnya nanti ketika 4D lagi.
Tidak lupa juga aku ajak ia bicara, aku minta Suamiku juga mengajak si Bayi bicara, minta agar diizinkan melihat wajahnya, jelasin juga kalau sekarang Ayah Ibunya sedang USG 4D jadi anak bayi harus bekerja sama memutar tubuhnya agar wajahnya bisa terlihat saat 4D.
Baca Juga : The Asian Parent - Berkomunikasi dengan janin bisa dilakukan dengan 5 cara berikut ini, bun!
Dan, memang itu benar bekerja! Aku percaya janin dalam kandungan dapat mendengar dan paham saat ia diajak bicara. Ketika masuk lagi untuk 4D, wajahnya sudah terlihat!
"nih, terlihat ya sekarang, pinter nak" kata Dokter.
"mirip siapa nih?" tanya dokter sambil sibuk dengan alat 4D nya.
"Hei, itu hidungku!" ucapku dalam hati.
Aku tersenyum menatap layar monitor. "oohh begini rupanya paras mahluk didalam perutku" ucapku lagi.
"wah emaknya banget ini" seru suamiku.
Selain itu, jenis kelamin tidak kalah penting juga untuk diketahui ketika 4D. Memang, dari bulan ke 5 kandungan sudah terlihat jelas jenis kelaminnya, laki laki! dan semakin jelas dengan USG 4D.
Hasil 4D jenis kelamin (dok pribadi) |
"udah ini sih jelas banget laki laki ya bu" ucap Dokter.
Merasakan gerakan dalam perut dan melihat bayiku via layar monitor 4D adalah dua momen terindah dimasa kehamilanku.
Hal menyenangkan lainnya selama hamil? tentu banyak, setidaknya ini versiku. Suami dan keluarga semakin perhatian, jalan pagi dan sore bersama suami, bergandengan tangan dan pulangnya bisa jajan dulu di mini market hehe, belanja keperluan bayi menurutku itu juga hal yang amat menyenangkan. Walau di era pandemi begini 100 persen kebutuhan bayiku dibeli online, tapi aku tetap senang dengan kegiatan itu.
Atas izinNya, di pagi hari Selasa 20 Oktober 2020 pada 38 minggu usia kandungan,anakku lahir dengan sehat dan selamat. Alhamdulilah.
Kami beri ia nama Ibrahim.
Foto pertama Ibrahim (Dok Pribadi) |
Begitu cerita singkat kehamilanku, bagaimana dengan cerita kehamilanmu?